My Life

Libatkan Allah dalam setiap urusan

Wednesday, June 17, 2015

Ngaji Hari Ini : Sunnah dan Bid'ah

Dalam Kitab Kulliyaat-nya, Abu Al-Baqa' menyatakan bahwa definisi As-Sunnah secara bahasa adalah jalan, meskipun jalan yang tidak diridhoi. Sedangkan menurut istilah syari'at, As-Sunnah merupakan jalan atau perilaku agamis yang diridhoi dan yang pernah dijalani oleh Rasulullah SAW atau orang yang memiliki ilmu agama Islam, seperti Shahabat RA. Pengertian ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِيْ
Berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rosyidin sesudahku
       Adapun pengertian As-Sunnah secara 'urf (kebisaaan) adalah perilaku yang ditetapi oleh pemimpin, baik seorang Nabi maupun Wali. Sedangkan Sunni merupakan sebutan untuk orang (kelompok) yang berpegang teguh pada As-Sunnah.  
       Syaikh Zaruuq berkomentar dalam Kitab 'Uddatul Muriid: Bid'ah menurut istilah syari'at adalah membuat-buat perkara dalam agama (Islam) yang seolah-olah merupakan bagian dari agama, padahal bukan; baik dari segi bentuknya maupun hakikatnya. Pengertian ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa membuat-buat sesuatu dalam perkara (agama) kami ini, yaitu sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, maka sesuatu itu tertolak". "Dan setiap perkara baru yang dibuat-buat (dalam agama) adalah Bid'ah". Ulama' menjelaskan bahwasanya makna kedua Hadits di atas diarahkan pada pengertian: Merubah suatu hukum dengan meyakini sesuatu yang (sebenarnya) bukan tergolong ibadah, akan tetapi dianggap sebagai ibadah. Jadi, Hadits di atas tidak bisa dimaknai secara general (umum), karena terkadang ada suatu pembaharuan (dalam agama) yang tercakup dalam dalil ashal (pokok), sehingga hukumnya dikembalikan pada hukum ashal; dan ada pembaharuan yang tercakup oleh dalil furu' (cabang), sehingga hukumnya diqiyaskan (disamakan) dengan hukum furu'.
       Syaikh Zaruuq berkata: Ada 3 parameter (tolak ukur) untuk menentukan, apakah suatu perkara termasuk Bid'ah atau bukan?. Tiga parameter itu adalah:
Parameter Ke-1
       Menganalisa perkara yang dianggap Bid'ah. Jika perkara itu (ternyata) diperkuat oleh mayoritas dalil syari'at atau dalil ashal (pokok), maka perkara itu bukan termasuk Bid'ah. Jika perkara itu tertolak ketika ditinjau dalam berbagai sudut pandang (dalil ashal), maka perkara itu termasuk perkara yang bathil dan menyesatkan. Sedangkan jika perkara itu didukung oleh dalil-dalil, kemudian terjadi syubhat (kesamaran hukum) dan kesamaan di antara beberapa sudut pandang; maka sudut pandang-sudut pandang tersebut perlu dianalisa lagi, sehingga menemukan sudut pandang yang paling unggul (rojih) untuk diterapkan pada perkara yang dianggap Bid'ah tadi.

Parameter Ke-2
       Melibatkan kaidah-kaidah para imam (ulama') salafush-shalih yang mengamalkan ilmunya (dalam bentuk perilaku keseharian) sesuai dengan tuntunan Sunnah. Jika ada suatu perkara dinilai bertentangan dengan kaidah-kaidah ulama' salafush-shalih dalam berbagai sisi, maka hukum perkara itu sudah jelas (tertolak). Jika suatu perkara sesuai dengan pokok kaidah-kaidah salafush-shalih, maka perkara itu benar adanya (bukan Bid'ah), meskipun hukumnya masih diperdebatkan di kalangan para ulama'. Jadi, masing-masing perkara mengikuti pada dalil ashal dan dalilnya yang lain. Di antara contoh kaidah ulama' salafush-shalih adalah: Sesungguhnya suatu perkara yang diamalkan (dilakukan) oleh ulama' salaf, kemudian dilestarikan oleh ulama' khalaf, maka perkara itu bukan termasuk Bid'ah maupun perkara yang tercela. Sedangkan perkara yang diabaikan oleh ulama' salafush-shalih dengan berbagai alasan yang jelas, maka perkara itu bukan termasuk Sunnah maupun perkara yang terpuji.
        Adapun perkara yang diperkuat oleh dalil ashal, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa ulama' salaf pernah mengerjakannya, maka menurut Imam Malik RA, perkara itu dinilai Bid'ah; karena sesungguhnya para ulama' salaf tidak akan meninggalkan suatu perkara, kecuali ada alasan yang melatar-belakanginya. Sedangkan menurut Imam Syafi'i RA, perkara tersebut bukan merupakan Bid'ah, meskipun perkara itu tidak pernah dilakukan oleh para ulama' salaf; karena bisa jadi, mereka meninggalkan perkara tersebut dikarenakan ada udzur ketika itu atau ada suatu perkara yang lebih afdhal untuk mereka lakukan (pada masa itu); apalagi perkara itu sudah mempunyai pijakan dan ketetapan hukum yang berasal dari Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syari'at Islam.
       Para ulama' juga berselisih pendapat tentang suatu perkara yang tidak ada penentangan maupun syubhat (kesamaran hukum) dari As-Sunnah; maka menurut Imam Malik RA, perkara itu termasuk Bid'ah; sedangkan menurut Imam Syafi'i RA, perkara itu bukan Bid'ah. Pendapat Imam Syafi'i RA ini berlandaskan Hadits: "Perkara yang saya abaikan bagi kalian, maka (hukum) perkara itu dima'fu".
       Syaikh Zaruuq berkata: Perbedaan sudut pandang terhadap parameter kedua inilah yang melatar-belakangi perbedaan pendapat di kalangan ulama' mengenai hukum membuat kantor, dzikir dengan suara keras, membuat perkumpulan (organisasi), dan berdo'a dengan keras; karena ada Hadits yang menganjurkan perkara-perkara tersebut, akan tetapi para ulama' salaf belum sempat melakukannya. Kemudian masing-masing kubu tidak boleh menganggap kubu lawan sebagai ahli Bid'ah, karena masing-masing kubu menghukumi berdasarkan hasil ijtihad yang posisinya tidak dapat membatalkan hasil ijtihad kubu yang lain. Masing-masing kubu juga tidak boleh menganggap (mengklaim) batalnya hasil ijtihad kubu lawan, karena masih ada kesyubhatan (kesamaran hukum) untuk menilai seperti itu. Seandainya saja ada klaim-klaim seperti itu, niscaya hal itu sama saja dengan menganggap Bid'ah seluruh umat Islam. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwasanya hukum Allah SWT yang berkaitan dengan masalah furu' (cabang) yang bersifat ijtihadi, maka hukumnya disesuaikan dengan hasil ijtihad; baik pihak yang benar itu hanya satu orang atau banyak orang. Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah salah seorang (dari kalian) mengerjakan shalat ashar, kecuali di (Desa) Bani Quraizhah". Kemudian waktu shalat ashar tiba ketika para Shahabat RA masih berada dalam perjalanan; maka sebagian Shahabat RA berkata: "Tadi kita diperintahkan untuk lekas-lekas mengerjakan shalat". Maka kelompok pertama ini segera menunaikan shalat (ashar) di tengah perjalanan; sedangkan kelompok yang lain berkata: "Tadi kita diperintahkan untuk mengerjakan shalat (ashar) di sana (Desa Bani Quraizhah)". Maka kelompok kedua ini mengakhirkan shalat ashar. Selanjutnya Rasulullah SAW tidak mencela masing-masing dari kedua kelompok tadi. Kejadian ini menunjukkan keabsahan melakukan suatu perbuatan berdasarkan pemahaman masing-masing orang terhadap Syari' (Al-Qur'an maupun Hadits), selagi tidak dilandasi oleh keinginan (mengikuti) hawa nafsu.

 Parameter Ke-3
       Mengklasifikasikan bid'ah berdasarkan tinjauan hukum-hukum Islam yang terperinci. Dalam hal ini, hukum-hukum Islam terbagi menjadi 6 bagian, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula (kurang baik), dan mubah. Setiap perkara yang condong kepada hukum ashal (pokok) tertentu, dengan disertai alasan yang shahih dan jelas; maka hukumnya disamakan dengan hukum ashal. Sedangkan perkara yang tidak ada kecondongan pada hukum ashal, maka perkara itu dinilai Bid'ah. Berkaitan dengan parameter ketiga ini, para ulama' mendefinisikan hukum-hukum berdasarkan tinjauan bahasa, agar mudah dimengerti. Wallahu A'lam.
       Syaikh Zaruuq berkata: Bid'ah terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1.    Bid'ah Sharih (bid'ah yang sudah jelas). Yaitu perkara yang ditetapkan tanpa dilandasi hukum ashal yang bersifat syar'i, baik hukum wajib, sunnah, manduub, dsb. Jenis bid'ah inilah yang mematikan Sunnah dan membatalkan perkara yang haq. Jenis bid'ah ini merupakan bid'ah yang paling buruk. Meskipun jenis bid'ah ini mempunyai ribuan sandaran berupa ashal maupun furu', tetap saja tidak berpengaruh.
2.    Bid'ah Idhofiyah (bid'ah yang mempunyai sandaran hukum). Yaitu bid'ah yang disandarkan pada suatu dalil yang seandainya dapat diterima, maka tidak boleh dipertentangkan lagi bahwa perkara itu adalah perkara sunnah atau bukan bid'ah; baik masih disertai adanya khilaf (perbedaan pendapat) maupun tidak.
3.    Bid'ah Khilafiyah (bid'ah yang diperselisihkan). Yaitu perkara yang berpijak di atas dua ashal yang saling bertentangan. Sehingga ada ulama' yang menyebut perkara itu sebagai Bid'ah, dan ada ulama' yang menyebutnya sebagai perkara sunnah. Misalnya: Membuat kantor dan dzikir berjama'ah.
       Al-'Allamah Muhammad Waliyuddin Asy-Syabtsiry berkomentar dalam Kitab Syarah Al-Arba'in An-Nawawy berkaitan dengan Hadits Rasulullah SAW:
Barang siapa membuat-buat perkara atau mendukung orang yang membuat-buat perkara (dalam agama), maka dia memperoleh laknat Allah.
       Hadits di atas mencakup akad-akad yang rusak; menghukumi (sesuatu) dengan dilandasi kebodohan (ketidak-tahuan) dan penyelewengan; serta perkara-perkara lain yang tidak sesuai dengan syari'at. Hadits di atas mengecualikan perkara-perkara yang tidak keluar dari (cakupan) dalil syara', misalnya: masalah-masalah ijtihadiyah yang antara masalah dengan dalilnya, tidak ada tali penghubung (rabith), kecuali berdasarkan dugaan kuat seorang mujtahid; demikian juga dengan masalah penulisan Mushhaf Al-Qur'an; memperkuat (verifikasi) madzhab-madzhab; penyusunan kitab-kitab nahwu dan hisab. Oleh karena itu, Ibnu Abdissalam membagi bid'ah menjadi 5 bagian. Beliau berkata: Bid'ah adalah melakukan suatu perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Ada bid'ah yang bersifat wajib, misalnya: belajar ilmu nahwu dan belajar ilmu tentang gharib (lafadz-lafadz asing) dalam Al-Qur'an dan Hadits yang diperlukan untuk memahami syari'at Islam dari keduanya; ada bid'ah yang bersifat haram, misalnya: Madzhab Qadariyah, Jabariyah, dan Mujassimah; ada bid'ah yang bersifat sunnah, misalnya: mendirikan pondok pesantren dan madrasah (sekolah) serta setiap perbuatan baik yang tidak pernah dilakukan pada masa-masa silam; bid'ah yang bersifat makruh, misalnya: menghias masjid-masjid dan menghias Mushhaf Al-Qur'an; serta bid'ah yang bersifat mubah, misalnya: bersalam-salaman sesudah shalat Shubuh dan 'Ashr; mencari kemewahan dalam hal makanan, minuman, pakaian, dll.

       Jika Anda sudah mengetahui keterangan di atas, maka Anda akan mengetahui bahwasanya sesuatu yang selama ini dinilai bid'ah, misalnya: memakai tasbih; melafadzkan niat; tahlil ketika keluarga jenazah bermaksud bershodaqoh yang pahalanya ditujukan kepada si jenazah, tanpa ada hal-hal yang terlarang di dalamnya; ziarah kubur; dan perkara-perkara lainnya; bukan termasuk bid'ah. Namun sesungguhnya membuat-buat perkara baru semisal mencuri di pasar malam, bermain banting-bantingan, dan sebagainya; justru itu semua yang termasuk sejelek-jelek bid'ah.
( رِسَالَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ )

Allahu a'lam

0 comments :

Post a Comment