Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam memberi definisi sifat Wujud ini. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa definisi Wujud adalah غير الموجود. Jika mengacu pada definisi ini, maka
sifat Wujud berarti (posisi) pertengahan antara ada dan tiada (Maksudnya: Dzat
Allah itu tidak bisa kita ketahui, namun wujud keberadaan-Nya bisa kita
rasakan). Menurut pendapat lain (pendapat Imam Al-Asy’ari), sifat Wujud
berarti; inti dari Dzat sang pencipta, maksudnya adalah sifat wujud bukan
merupakan unsur tambahan terhadap Dzat sang pencipta (Allah SWT), sekiranya
sifat wujud mempunyai unsur lain pada bagian luar sebagaimana Dzat Allah SWT,
maka seandainya saja hijab kita dibuka, niscaya kita bisa melihat sifat wujud
sabagaimana sifat-sifat ma’any lainnya. Sifat Wujud merupakan perkara yang
terbersit di dalam hati saja untuk memperkuat pemahaman tentang Dzat-Nya. Yang
dimaksud dengan adanya sifat Wujud sebagai inti dari sang pencipta (Allah SWT),
bukanlah inti secara nyata, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah sifat
Wujud bukan merupakan unsur tambahan di luar Dzat-Nya, akan tetapi sifat wujud
pemikiran yang seperti itu hanya berada di dalam hati saja.
Sifat Wujud
merupakan sifat Allah SWT secara hakiki dengan dalil bahwasanya para ulama’
tauhid sudah memberikan dalil tentang sifat Wujud. Seandainya saja sifat Wujud
merupakan inti dari Dzat Allah SWT, niscaya para ulama’ tidak perlu mencarikan
dalil untuk sifat Wujud. Ada
pertanyaan, apakah orang mukallaf wajib atau tidak untuk meyakini bahwasanya
sifat Wujud merupakan inti dari Dzat Allah SWT atau justru berada di luar
Dzat-Nya?, Jawaban: Orang mukallaf tidak wajib berkeyakinan seperti itu. Akan
tetapi yang diwajibkan adalah bahwasanya Wujud Allah SWT merupakan sifat wajib
yang tidak mungkin ketiadaannya, dan Wujud Allah SWT tanpa ada materi maupun
perantara, maksudnya tidak ada sesuatu pun yang terlibat dalam Wujud Allah SWT.
Kesimpulannya, Allah SWT tidak membutuhkan pencipta yang menciptakan
‘diri-Nya’. Sedangkan Dzat Allah SWT menuntut keberadaan sifat Wujud, maksudnya
Allah SWT tidak menciptakan diri-Nya sendiri.
Para
makhluq hidup sudah mengakui wujud-Nya, dan tidak ada yang mengingkari hal itu
kecuali golongan yang mata hatinya sudah dilenyapkan oleh Allah SWT, misalnya;
golongan Dahriyah. Yaitu golongan yang mengingkari wujudnya pencipta. Mereka
berpendapat: “Sesungguhnya bahwa hidup
ini hanya menyangkut hubungan kekeluargaan & (menunggu) musnahnya bumi, dan
tidak ada yang mampu menghancurkan kita selain waktu (dahr) saja”. Oleh karena
itu, golongan ini disebut dengan golongan Dahriyah. Semoga mereka ditimpa adzab
yang pedih.
Dalil sifat Wujud Allah SWT adalah
terciptanya alam semesta, yaitu wujudnya alam semesta dari yang semula tidak
ada kemudian menjadi ada dan tersusun. Ringkasnya; alam semesta adalah baru (حـادثا), dan setiap perkara yang baru pasti
mempunyai pencipta, kesimpulannya: alam semesta ini ada Dzat yang
menciptakannya. Ini adalah dalil rasional (aqli). Adapun bahwa yang dimaksud dengan
sang pencipta di sini adalah Allah SWT Yang Mahaesa dan tiada sekutu
bagi-Nya, tidaklah berdasarkan dalil di atas, akan tetapi berdasarkan
keterangan dari para Rasul AS.
Perhatikan masalah ini, sesungguhnya
sifat baru (حـادثا) bagi alam
merupakan dalil wujudnya Allah SWT, karena alam sebelum terwujud merupakan
perkara mumkin – perkara yang mungkin ada dan tidak ada dengan peluang yang
sama –. Pada dasarnya, wujudnya alam dengan ketiadaan alam berada pada posisi
yang sama persis. Setelah nyata bahwasanya alam sudah terwujud, berarti posisi
terwujudnya alam menjadi lebih unggul dari pada ketiadaannya. Selanjutnya,
sudah pasti alam tadi mempunyai Dzat yang menciptakannya, yaitu Allah SWT.
Apabila ada
pertanyaan, apa dalil yang menyatakan bahwa alam itu bersifat baru?, maka
jawabannya adalah bahwasanya alam itu terdiri dari unsur-unsur (jirim) dan sifat-sifat
(kejadian atau fenomena alam). Kejadian-kejadian
di alam ini – misalnya; bergerak, diam, dan lain-lain. – merupakan
sesuatu yang baru, maksudnya; semua itu ada setelah sebelumnya tidak ada
kemudian menjadi ada. Dalilnya adalah Anda melihat bahwasanya fenomena-fenomena
alam itu berubah, dari ada menjadi tidak ada, dan dari tidak ada kemudian
menjadi ada. Tubuh (manusia) terkadang bergerak dan terkadang diam. Jadi, gerak
berubah menjadi diam, dan diam berubah menjadi bergerak.
Dari
sini bisa diketahui bahwasanya fenomena-fenomena alam merupakan perkara yang
baru, begitu juga dengan jirim – semakna dengan tubuh (manusia) – yang
menetapi fenomena alam di atas, karena tubuh pasti tidak lepas dari kondisi
bergerak atau diam. Segala sesuatu yang menetapi sesuatu yang baru, berarti
juga termasuk perkara baru. Jadi, tubuh itu adalah perkara yang baru, yaitu
keberadaannya setelah sebelumnya tidak ada kemudian menjadi ada sebagaimana fenomena-fenomena
alam. Kesimpulan dalil untuk menjawab pertanyaan di atas adalah jirim-jirim
itu menetapi fenomena-fenomena alam yang sifatnya baru (haadits), dan setiap
perkara yang menetapi sesuatu yang sifatnya baru, juga termasuk perkara yang
baru pula, kesimpulannya; jirim-jirim adalah perkara yang baru. Selanjutnya,
sifat baru yang melekat pada jirim-jirim dan fenomena-fenomena alam
merupakan dalil wujudnya Allah SWT, karena setiap perkara yang bersifat baru
pasti membutuhkan sang pencipta, dan sang pencipta itu tiada lain adalah Allah
SWT semata. Jika Allah SWT sudah pasti mempunyai sifat Wujud, otomatis Dia
mustahil mempunyai sifat ‘Adam (tidak ada) yang merupakan kebalikan dari sifat
Wujud.
Allahu a'lam
alhamdulillah bisa belajar fathul majid dlam bhsa indnesia
ReplyDeleteIya :)
DeleteFathul majid ada 2.
ReplyDeleteSatu karya syekh nawawi al bantani. Aswaja.
Satunya karya Wahabi
Cover Kitab di atas adalah kitab wahabi
ReplyDelete