Bismillah...
Ke-1
Imam Haramain RA menilai bahwa pernikahan merupakan urusan
syahwat, bukan tergolong ibadah. Imam Syafi'i RA dalam Kitab Al-Umm juga
cenderung pada pendapat di atas. Imam Syafi'i RA berkata: Allah SWT berfirman
dalam Surat Ali Imron : 14
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita
Dalam Hadits disebutkan: Aku diberi (potensi) menyukai perkara
duniawi, yaitu wanita dan minyak wangi. Sedangkan (motif nikah untuk) melestarikan
keturunan merupakan dugaan kuat belaka, karena tidak dapat diketahui apakah
keturunannya nanti akan tumbuh menjadi orang shalih atau justru thalih
(buruk). Imam Nawawy RA berkata: Jika pernikahan diniati untuk mengikuti Sunnah;
untuk memperoleh keturunan; atau menjaga kemaluan dan mata (dari maksiat), maka
pernikahan merupakan perkara ukhrawi yang memperoleh bagian pahala.
Ke-2
Abu Ishaq Asy-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab berkata:
Nikah diperkenankan, karena sesungguhnya nikah merupakan upaya untuk mencari kelezatan
yang menentramkan jiwa; namun hukumnya tidak wajib, seperti halnya memakai
pakaian bagus dan makan makanan yang lezat. Nikah terkadang disunnahkan, yaitu
bagi orang yang ingin melakukan hubungan badan; dia mampu membayar mahar dan
memberi nafkah. Barang siapa tidak mempunyai keinginan untuk berhubungan badan,
maka yang disunnahkan baginya adalah tidak menikah. Karena pernikahan menuntut
hak-hak yang sebenarnya tidak dia butuhkan; dan dalam rangka memenuhi hak-hak
itu, dia akan mengalami kesulitan untuk melakukan ibadah. Jika dia tidak
menikah, maka dia mempunyai banyak kesempatan untuk beribadah; sehingga
meninggalkan pernikahan lebih menyelamatkan agamanya.
Asy-Syarqawy berkomentar dalam Hasyiyah At-Tahriir: Pernikahan
terkadang hukumnya wajib, misalnya: ketika pernikahan menjadi satu-satunya
jalan (alternatif) untuk menghindari perzinahan; atau ketika seorang suami menceraikan
istri yang mempunyai hak giliran (namun belum dipenuhi). Terkadang pernikahan
hukumnya Khilaful Aula (kurang baik), misalnya bagi orang yang
menginginkan pernikahan, namun dia tidak mempunyai biaya pernikahan. Orang
seperti ini hendaknya memecah keinginan menikahnya dengan banyak berpuasa. Jika
hasrat menikah tidak bisa dipecahkan oleh puasa, maka dia tidak boleh memecah
nafsu syahwatnya dengan kapur (onani), dsb. Akan tetapi hendaknya dia menikah
dengan tujuan 'iffah (menjaga diri dari dosa). Terkadang pernikahan
dimakruhkan seperti orang yang mempunyai keinginan untuk menikah, namun dia
tidak mempunyai biaya nikah; atau dia mempunyai biaya nikah, akan tetapi
mempunyai penyakit seperti: pikun dan impoten; bahkan pernikahan terkadang hukumnya
haram, misalnya: menikahi orang yang haram dinikahi.
Ke-3
Tidak disunnahkan pernikahan kecuali dengan orang yang taat
beragama; berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwasanya
Nabi SAW bersabda: Wanita dinikahi karena 4 hal, yaitu: hartanya, pangkatnya, kecantikannya,
dan agamanya. Menikahlah dengan orang yang taat beragama, maka engkau akan memperoleh
banyak barokah. Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW di atas, bahwa yang patut
untuk dinikahi adalah orang yang taat beragama dan dapat menjaga harga diri. Hendaknya
agama dijadikan sebagai tolak ukur utama dalam segala sesuatu, apalagi dalam
perkara yang berjangka panjang (seperti pernikahan). Nabi SAW memerintahkan kita
untuk menikah dengan orang yang taat beragama; karena taat beragama merupakan
tujuan utama (dalam membina rumah tangga). Dalam Hadits Abdullah bin 'Amr yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara marfu' kepada Rasulullah SAW: Janganlah
kalian menikahi wanita karena kecantikannya; karena bisa jadi kecantikan akan
membinasakannya. Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, hartanya
akan membuat dia semena-mena. Aka tetapi menikahlah dengan wanita yang taat
beragama. Seorang budak wanita yang cacat namun taat beragama, lebih utama dari
pada wanita cantik yang tidak taat beragama.
Hendaknya orang Islam tidak menikah, kecuali dengan orang yang
mempunyai kecerdasan (kreativitas), karena tujuan pernikahan adalah hidup
bersama dengan baik dan hidup sejahtera; dan hal itu tidak dapat terwujud
kecuali dengan orang yang mempunyai akal (kreatif).
Ke-4
Disunnahkan untuk menikah dengan wanita yang masih gadis,
kecuali karena udzur, misalnya: lemahnya alat vital untuk menembus keperawanan;
atau dia membutuhkan istri yang mengurus keluarganya sebagaimana yang terjadi
pada Shahabat Jabir bin Abdillah RA. Hendaknya calon istri adalah berasal dari
keturunan baik-baik; bukan anak zina maupun puteri orang fasik, wanita temuan,
wanita yang tidak diketahui ayahnya; atau wanita yang kufu (sederajat);
berdasarkan Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari 'Aisyah RA
secara marfu': Hendaklah kalian memilihkan (istri) demi anak kalian, dan
menikahlah dengan wanita yang kufu. Hendaknya calon istri adalah wanita yang
subur, sedangkan informasi tentang seorang gadis itu subur, dapat diperoleh
dari kaum kerabatnya. Hendaknya calon istri itu mempunyai sifat kasih sayang,
berdasarkan Hadits: Hendaknya kalian menikah dengan wanita yang subur dan
mempunyai sifat kasih sayang. Sesungguhnya aku (ingin) jumlah kalian melebihi
jumlah umat yang lain pada hari qiyamat nanti. Hendaknya calon istri itu sudah baligh,
kecuali karena hajat; hendaknya maharnya tidak mahal; bukan wanita yang
diceraikan, yang masih dicintai oleh suami yang menceraikannya atau dia masih
mencintai suami yang menceraikannya; bukan tergolong kerabat dekat, melainkan
wanita lain (ajabiy) atau tergolong kerabat jauh.
Ke-5
Disunnahkan untuk tidak menikah, kecuali dengan orang yang dia
nilai baik. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Muhammad bin
'Amr bin Hazm dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau pernah bersabda: Sesungguhnya
wanita itu adalah teman untuk bermain-main; jika salah seorang dari kalian
mencari teman bermain, hendaklah dia mencari orang yang dia nilai baik.
Ke-6
Jika seseorang bermaksud untuk menikah, maka disunnahkan untuk
melihat wajahnya dan kedua telapak tangannya, berdasarkan Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA: Sesungguhnya seorang laki-laki hendak
menikahi wanita Anshar, lalu Nabi SAW bersabda: Lihatlah wajahnya. Karena
sesungguhnya dalam pandangan mata orang Anshar, terdapat suatu (tanda). Tidak
diperkenankan untuk melihat pada selain wajah dan kedua telapak tangan. Hukum
kehalalan melihat wanita harus disertai keyakinan bahwasanya wanita itu tidak
dalam keadaaan sudah menikah atau sedang 'iddah; dan tidak ada dugaan kuat
bahwasanya dia akan ditolak oleh si wanita. Bagi orang yang mengalami kesulitan
untuk melihat si wanita, maka disunnahkan untuk mengirim utusan yang sesama
wanita, untuk mencari tahu tentang sifat-sifat wanita itu, dan menceritakannya
kepada laki-laki yang telah mengutusnya. Demikian juga bagi wanita yang hendak
menikah, disunnahkan untuk melihat si laki-laki; (hal itu dilakukan) karena bisa
melihat sisi-sisi laki-laki yang mengagumkan di matanya, sebagaimana laki-laki
dapat melihat sisi-sisi wanita yang mengagumkan di matanya. Oleh karena itu,
Umar bin Khaththab RA berkata: Janganlah kalian menikahkan puterimu dengan
laki-laki yang buruk rupa. Karena kaum wanita menyukai suatu hal pada diri kaum
pria, sebagaimana kaum pria menyukai suatu hal pada diri kaum wanita.
Ke-7
Hendaknya seluk-beluk si pria sampai pada pendengaran si wanita;
hendaknya si laki-laki menjelaskan keadaannya sebagai bahan pertimbangan bagi
si wanita; meyakinkan keadaannya; dan membuat si wanita itu mau menikahinya
sesuai dengan keinginan sendiri.
Ke-8
Sebagian orang Arab berkata: Janganlah kalian menikah dengan 6
jenis wanita, yaitu: wanita yang banyak mengeluh (Anaanah); wanita yang
banyak mengungkit-ungkit (Mannaanah); wanita yang mudah terpikat pada
laki-laki lain (Hannaanah); wanita yang matrealis (Haddaaqah);
wanita yang gemar bersolek (Barraaqah); dan wanita yang banyak omong (Syaddaaqah).
Yang dimaksud dengan Anaanah adalah wanita yang banyak mengeluh dan
banyak protes; serta sering menghabiskan waktu untuk kepentingan pribadi.
Menikah dengan wanita yang sering sakit atau pura-pura sakit juga tidak baik. Mannaanah
adalah wanita yang suka mengungkit-ungkit. Misalnya wanita itu berkata: Saya
berbuat ini dan itu karenamu. Hannaanah adalah wanita yang terpikat pada
laki-laki lain atau kepada anak tirinya dari suami lain. Wanita seperti ini
seyogyanya dijauhi. Haddaaqah adalah wanita yang mudah
tergoda (untuk memiliki) setiap melihat segala sesuatu, sehingga dia memaksa
suami untuk membelinya. Barraaqah itu mempunyai dua makna, yaitu wanita
yang sepanjang hari bersolek dan berhias agar mukanya tampak menawan dengan penuh
kosmetik. Makna kedua adalah Jika membenci makanan, maka dia tidak mau
memakannya kecuali dalam keadaan sendirian; dan memandang sedikit apapun yang
diberikan kepadanya. Syaddaqah adalah wanita yang banyak omong.
Ke-9
Faidah-faidah pernikahan itu ada 5, yaitu: anak; memecah syahwat
kemaluan; mengurus urusan rumah tangga; banyak bergaul; mujahadah (memerangi)
nafsu untuk memenuhi tugas-tugas sebagai suami dan tugas keluarga; serta
bersabar dalam menjalaninya. Bahaya pernikahan ada 3, yaitu: Pertama: Tidak
mampu mencari nafkah yang halal. Mencari nafkah yang halal tidaklah mudah
dilakukan oleh kebanyakan orang, apalagi pada masa sulit seperti sekarang; di
mana banyak mu'amalah yang keluar dari undang-undang syari'at serta kondisi
perekonomian yang sedang goncang dan terjadi krisis di mana-mana. Sehingga
pernikahan dapat menjadi sebab seseorang terjerumus di dalamnya dan memberi
makan keluarga dari hasil kerja yang haram, sehingga dia merusak dirinya
sendiri dan keluarganya. Orang yang membujang (tidak menikah), kecil peluangnya
terjerumus pada hal-hal haram tersebut; sedangkan orang yang menikah, terpaksa
masuk ke dalam lobang keharaman dan mengikuti hawa nafsu istrinya, bahkan dia rela
menjual akhiratnya untuk kepentingan duniawi. Kedua: Teledor dalam memenuhi
hak istri dan keluarga, karena seorang laki-laki ibarat penggembala di
rumahnya; sedangkan keluarganya ibarat binatang yang dia gembalakan; dan dia
akan dimintai pertanggung-jawaban atas semua itu. Ketiga: Terkadang
keluarga dan anak dapat menyibukkan seseorang dari ketaatan kepada Allah SWT dan
membuatnya harus bekerja keras untuk mencari dan mengumpulkan harta duniawi,
menyimpannya, menyombongkannya, dan bermegah-megahan. Setiap perkara yang
melalaikan dari taat kepada Allah SWT, baik itu keluarga, harta benda, maupun anak,
semua itu adalah kerusakan dan berdampak buruk bagi orang yang bersangkutan. Jika
faidah-faidah pernikahan (kemungkinan besar) dapat diperoleh oleh seseorang dan
tidak ada bahaya pernikahan yang mengancamnya, maka dia disunnahkan untuk
menikah. Sedangkan jika seseorang mengalami kondisi sebaliknya, maka tidak
menikah lebih utama baginya. Adapun orang yang saling tarik-menarik antara dua
hal (dampak positif dan negatif pernikahan), maka hendaklah dia berijtihad dan
menjalani apa yang menurutnya lebih utama untuk dilakukan.
Ke-10
Disunnahkan menikah diniati untuk mengikuti sunnah Rasulullah
SAW; menjaga agamanya; memperoleh anak; dan niat memperoleh faidah-faidah lain
sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Pernikahan dapat mendatangkan pahala
jika seseorang menikah dengan maksud melakukan ketaatan, misalnya: 'iffah
(menjaga diri) dan memperoleh anak shalih. Hendaknya akad nikah dilangsungkan
di masjid, berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah RA secara marfu': Umumkan
pernikahan ini dan laksanakanlah (akadnya) di masjid-masjid. HR. At-Tirmidzi. Akad
pernikahan disunnahkan pada hari jum'at di permulaan siang (pagi hari), berdasarkan
Hadits yang masyhur: Ya Allah, mohon berikanlah barokah kepada umatku pada pagi
hari. Akad pernikahan juga disunnahkan dilangsungkan pada bulan Syawwal, jika
memang memungkinkan; atau sama saja pada bulan-bulan lain. Jika ada sebab-sebab
nikah yang mengharuskan pernikahan dilakukan di luar Syawwal, maka boleh-boleh
saja. Demikian juga shahih riwayat yang menganjurkan pernikahan di bulan
Shafar. Az-Zuhri meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW menikahkan puteri
beliau, Fathimah dengan 'Ali RA pada bulan Shafar, pada permulaan bulan-12 dari
kalender Hijriyah.
Ke-11
Disunnahkan untuk mengundang orang-orang shalih dan bertaqwa,
karena adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan, yaitu menyebar-luaskan
berita pernikahannya. Hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan mengumpulkan
masyarakat sekitar. Sedangkan penyebutan orang-orang yang shalih dan bertaqwa
secara khusus adalah untuk mengharap do'a restu dan keberkahan melalui
kehadiran mereka.
Ke-12
Disunnahkan khutbah nikah dari wali pihak istri atau yang
mewakilinya. Berdasarkan Hadits yang meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW
ketika menikahkan puteri beliau, Fathimah dan Ali RA, beliau berkhutbah:
Segala puji bagi Allah,
yang dipuji karena nikmat-Nya; yang disembah karena Maha Kuasa-Nya; yang
ditaati karena kekuasaan-Nya; yang ditakuti adzab-Nya dan kebencian-Nya; yang lestari
perintah-Nya di langit dan bumi; yang menciptakan para makhluq dengan
kekuasaan-Nya; membedakan mereka dengan hukum-hukum-Nya; mengagungkan mereka
dengan agama-Nya; dan memulyakan mereka dengan Nabi Muhammad SAW; sesungguhnya
Allah SWT menjadikan ada efek-efek lanjutan dalam perjodohan; sebagai perkara
yang sudah dipastikan; memperkuat sanak kerabat; dan menjaga keberlangsungan eksistensi
manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Furqan : 54
Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan ushaharah
dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.
dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.
Perkara Allah itu berjalan menjadi Qadha'-Nya. Qadha'-Nya berjalan menjadi Qadar-Nya; setiap Qadha', ada Qadar-Nya; setiap Qadar, ada waktunya (ajalnya); dan setiap ajal, ada catatan ketetapannya; Allah meniadakan atau menetapkan apa yang Dia kehendaki; di sisi-Nya, Ummul Kitab. Segala puji bagi Allah; kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan meminta ampunan-Nya; kami meminta perlindungan kepada Allah dari buruknya jiwa kami dan kejelekan amalan kami; barang siapa memperoleh petunjuk Allah, maka tidak ada yang akan menyesatkannya; barang siapa dikehendaki sesat oleh Allah, maka tidak ada yang memberi petunjuk kepadanya; saya bersaksi bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah; Yang Mahaesa dan tiada sekutu bagi-Nya; saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah SWT menganugerahkan Rahmat Ta'zhim dan keselamatan kepada beliau, keluarga dan para Shahabat sekalian. (Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imron : 102)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam.
(Surat An-Nisaa' : 1)
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan Mengawasi kamu.
(Surat Al-Ahzab : 70-71)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah perkataan yang benar; Niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Amma Ba'du. Sesungguhnya semua perkara berada di dalam kekuasaan Allah. Allah memastikan apa yang Dia kehendaki; menghukumi apa yang Dia inginkan; tidak ada yang dapat mengakhirkan apa yang sudah didahulukan; tidak ada yang dapat mendahulukan apa yang diakhirkan; tidak akan berkumpul maupun berpisah antara dua orang, kecuali karena Qadha' dan Qadar Allah yang telah ditetapkan.
Setelah selesai
menyampaikan khutbah nikah, maka khatib berkata: Sesungguhnya di antara yang
sudah diqadha'-qadarkan oleh Allah SWT adalah Fulan bin Fulan melamar Fulanah
binti Fulan. Wali pihak wanita atau yang mewakili, menikahkan dia dengan mahar sekian;
dengan menetapi apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, berupa menjalani hidup
rumah tangga dengan ma'ruf atau berpisah secara ihsan. Saya mengakhiri
khutbahku ini. Saya memintakan ampunan kepada Allah SWT untuk diri kami
sendiri; Anda semua; kedua orang tuaku; guru-guruku; dan seluruh kaum muslimin.
Beristighfarlah kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ke-13
Disunnahkan untuk
mendahulukan lamaran dari wali; dan diawali oleh khutbah sebelumnya; demikian
juga khutbah sebelum ijab. Para Ulama' Syafi'iyyah berkata: Khutbah dinilai sah
jika disertai dengan memuji Allah; membaca Shalawat dan Salam kepada Rasulullah
SAW; dan wasiat (bertaqwa kepada Allah SWT). Khathib berkhutbah:
بِسْمِ
اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ
عِبَادَ اللهِ وَنَفْسِيَ بِتَقْوَى اللهِ. أما بعد
Di sini saya datang
kepada Anda semua untuk melamar puteri Anda, Fulanah. Jika orang yang melamar
itu selaku wakil, maka dia berkata: Orang yang mewakilkan kepadaku datang
kepada Anda semua untuk melamar puteri Anda. Selanjutnya Wali (si wanita) atau
Naib-nya berkhutbah seperti di atas, kemudian menjawab: Anda tidak dibeci
(maksudnya: Lamarannya diterima).
Ke-14
Sebelum akad nikah, orang yang menikahkan berkata: Saya
menikahkan kamu agar menetapi apa yang diperintahkan oleh Allah 'Azza wa
Jalla, yaitu menjalin rumah tangga dengan ma'ruf atau berpisah dengan
ihsan. Hendaklah orang yang menikahkan itu mendo'akan kedua mempelai setelah
akad nikah dengan kebaikan dan barokah; berdasarkan Hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW jika mendo'akan orang yang
menikah dengan do'a yang telah disepakati, yaitu:
بَارَكَ
اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
Semoga Allah memberi barokah kepadamu; dan mengumpulkan kalian
berdua dalam kebaikan
Ke-15
Al-'Allamah
Al-Bulqiny dalam Bab Shalat Sunnah dari Kitab Hasyiyah 'ala Syarhil 'Allamah
Al-Mahally berkomentar: Disunnahkan bagi suami melakukan shalat sunnah dua
roka'at sebelum akad nikah; dan bagi yang melangsungkan pernikahan sebelum
berhubungan badan. Demikian juga disunnahkan shalat sunnah dua roka'at bagi
istri.
Semoga Bermanfaat :)
Allahu a'lam
0 comments :
Post a Comment