Kehadiran seorang ibu dalam proses
pertumbuhan fisik, intelektual, dan spiritual sangat tergantung pada Ibu dan
Ayah. Jadi, seringkali seorang anak mengalami deprivasi. Seorang dokter muda
ketika ditanya oleh rekannya:’’ kenapa engkau tidak melanjutkan s2? dokter
menjawab enteng:’’cukup saya saja yang menderita (Deprivasi
Paternal), sebab ketika ayah saya menjadi dokter, beliu benar-benar sibuk,
sehingga saya tidak memperoleh kasih sayang. Dan saya tidak mau mengorbankan anak saya’’.
Pernyataan dokter itu masih lumayan, karena
dia masih bisa tumbuh dengan baik, sehingga bisa menjadi seorang dokter. Dan,
saat ini, banyak sekali anak dalam usia pertumbuhan benar-benar mengalami
deprivasi, dimana seorang Ibu sibuk dengan urusan pekerjaan. Sementara sang
Ayah juga lebih sibuk lagi, sehingga jarang pulang. Mungkin ini yang disebut dengan
‘’ Disfungsi
Keluarga’’.
Padahal, keindahan keluarga
itu dapat dirasakan ketika Ibu, Ayah, dan anak bisa ber-interaksi dengan
sebaik-baiknya.
Keluarga
tanpa anak, ibarat pohon tidak berbuah. Rumah tanpa tangisan bayi, terasa tidak
sempurna. Tangisan bayi itulah yang membuat rumah menjadi hidup dan penuh berkah.
QS al-Furqon ( 25:74) mengatakan yang artinya:’’ Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami,
anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.
Dalam sebuah study, Prof,. Nick Stinet dan
Prof. John De Nebraksa, dalam sebuah judul’’ The National Study on Family
Strength’’ mengemukanan bahwa untuk mewujudkan keluarga
sehat
dan bahagia ada enam perkara (Dadang Hawari: 215). Dalam islam, keluarga
sakinah dan bahagia itu terdapat empat criteria (istri sholihah, rumah sehat (bagus), kendaraan bagus, serta
memiliki anak-anak yang berbudi pekerti). Dalam riwayat lain, tempat rejekinya
dinegeri sendiri (kampung halaman).
keluargaku yang saling kerjasama membantu, menghargai, dan paling berharga
Sedangkan yang dimaksud keluarga di sini
adalah, yaitu terdiri dari Ayah, Ibu dan anak, ini yang disebut dengan’’pure
family system (keluarga pokok). Bukanya keluarga besar yang terdiri
dari Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dan anak cucu (Extended Family Syistem).[1] Sebab, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang
keluarganya terdiri dari ayah ibu, anak, kakek, nenek serta kerabat lainya
dalam satu rumah besar.
Keluarga adalah komunitas terkecil dalam
kehidupan masyarakat dan Negara yang menghuni sebuah rumah. Oleh karena itu
kesejahteraan masyarakat atau Negara ditentukan pula oleh kesejahteraan
keluarga kecil tersebut. Al-Qur’an dan al-Hadist bertutur banyak seputar
keluarga, pernikahan, serta tujuanya dengan gamblang, ini merupakan bukti bahwa keluarga
itu sangatlah penting.
Adapun tujuan membentuk keluarga ialah (1) memenuhi
kebutuhan seksual instingnya sebagai manusia sesuai dengan fitrahnya (2)
mencapai ketentraman batin bersama pasangan hidupnya, rukun, damai, penuh
dengan cinta dan kasih
sayang, dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan ’’Mawaddah wa Rahmah’’(3)
Melangsungkan keturunan yang sah, yang akan melanjutkan cita-cita kedua
orangtua, serta mendo’kan kedua orangtua.(4) menjaga Nasab (keturunan), Nabi
Zakariya a.s pernah berdo’a ‘’ Ya Allah, janganlah
engkau membiarkan diriku tanpa keturunan’’.
Proses pemebentukan keluarga di dalam islam
sangat terhormat dan mulia, sebagaimana telah diatur dalam al-Qur’an dan
dicontohkan oleh Nabi
s.a.w. Inilah yang membedakan manusia dengan binatanag. Antara laki-laki dan wanita
diikat dengan ikatan kalimah Allah Swt, yang kemudian menjadi halal untuk saling memiliki.
Untuk mencapai tujuan (ghoyah)
sebuah keluraga diatas, penulis akan menyinggung langkah-langkah awal, yaitu
masa sebelum menikah.
Sebab, dasar yang paling utama di dalam membangun keluarga sejahrera lahir dan
batin, dibawah naugan al-Qur’an adalah dengan memilih pasangan hidup (istri).
Jika salah di dalam menentukan pilihan pasangan, dampaknya kurang bagus di
dalam mengarungi bahhtera rumah tangga yang penuh dengan liku-liku.
Nabi Ibrahim a.s pernah
mengunjungi putranya, Ismail a.s ketika beliau berkunjung ke Kota Makkah. Nabi Ibrahim bertamu kerumah putranya, akan tetapi Ismail a.s
sedang keluar rumah, sehingga istrinya yang menyambut, dan mempersilahkan duduk
dan memberikan segelas minuman.
Ibrahim a.s dan menantunya terlibat dalam
sebuah dialog kecil nan sederhana. Keduanya bercerita panjang lebar seputar
keadaan keluarga. Tidak terasa, obrolan itu menyinggung keadaan suaminya Ismail
a.s. Betapa terperanjat, ternyata sang menantu menceritakan
kekurangan-kekurangan yang dimiliki Ismail a.s., hingga masalah
ekonomi (maisah)pun di ceritakan panjang lebar. Nabi Ibrahim a.s menangkap
bahwa sang menantu benar-benar tidak bisa menjadi pasangan putranya di dalam
membagun bahtera rumah tangga.
Ketika Ibrahim bertemu dengan putranya Ismail
a.s., beliau bercerita sepuatar keadaan istrinya yang menyambut dirinya, tetapi
bercerita tengtang keluhan atas kesulitan ekonomi serta kekurangan suami.
Tetapi, Ibrahim a.s menyimak cerita itu dengan baik. Akhirnya, Ibrahim a.s.
mengatakan” Anakku, aku memohon agar supaya pintu rumahmu
diganti, karena itu tidak pantas untukmu’’. Nabi Ismail hanya
menjawab dengan kata’’ Iya’’, sendiko dawuh romo.
Di bawah ini beberapa langkah di dalam
membangun generasi terbaik dikemudian hari. Sang Ayah adalah orang yang paling
berperang di dalam membentuk keluarga yang ideal, sesuai dengan tuntunan agama. Penulis memuali dari pemilihan pasangan (suami atau
istri). Alasanya, sangat sederhana, karena keluarga itu terdiri dari
suami istri, yang menempati rumah. Di situlah pasangan membangun komunitas
terkecil, hingga berkemang biak, menjadi keluarga besar. Jika, salah di dalam
memilih, dan keliru membangun keluarga, maka ini akan berlanjut dikemudian
hari. Dan, keluarga yang akan berjalan akan mengalami disfungsi keluarga.
Sumber: mading di sekolah dulu. Karya seseorangyang kreatif.
Allahua'lam
0 comments :
Post a Comment