My Life

Libatkan Allah dalam setiap urusan

Monday, June 27, 2016

Disfungsi Keluarga di Era Modern



Kehadiran seorang ibu dalam proses pertumbuhan fisik, intelektual, dan spiritual sangat tergantung pada Ibu dan Ayah. Jadi, seringkali seorang anak mengalami deprivasi. Seorang dokter muda ketika ditanya oleh rekannya:’’ kenapa engkau tidak melanjutkan s2? dokter menjawab enteng:’’cukup saya saja yang menderita (Deprivasi Paternal), sebab ketika ayah saya menjadi dokter, beliu benar-benar sibuk, sehingga saya tidak memperoleh kasih sayang. Dan saya tidak mau mengorbankan anak saya’’.
Pernyataan dokter itu masih lumayan, karena dia masih bisa tumbuh dengan baik, sehingga bisa menjadi seorang dokter. Dan, saat ini, banyak sekali anak dalam usia pertumbuhan benar-benar mengalami deprivasi, dimana seorang Ibu sibuk dengan urusan pekerjaan. Sementara sang Ayah juga lebih sibuk lagi, sehingga jarang pulang. Mungkin ini yang disebut dengan ‘’ Disfungsi Keluarga’’. Padahal, keindahan keluarga itu dapat dirasakan ketika Ibu, Ayah, dan anak bisa ber-interaksi dengan sebaik-baiknya.
Keluarga tanpa anak, ibarat pohon tidak berbuah. Rumah tanpa tangisan bayi, terasa tidak sempurna. Tangisan bayi itulah yang membuat rumah menjadi hidup dan penuh berkah. QS al-Furqon ( 25:74) mengatakan yang artinya:’’ Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Dalam sebuah study, Prof,. Nick Stinet dan Prof. John De Nebraksa, dalam sebuah judul’’ The National Study on Family Strength’’ mengemukanan bahwa untuk mewujudkan keluarga sehat dan bahagia ada enam perkara (Dadang Hawari: 215). Dalam islam, keluarga sakinah dan bahagia itu terdapat empat criteria (istri sholihah, rumah sehat (bagus), kendaraan bagus, serta memiliki anak-anak yang berbudi pekerti). Dalam riwayat lain, tempat rejekinya dinegeri sendiri (kampung halaman).

 keluargaku yang saling kerjasama membantu, menghargai, dan paling berharga
Sedangkan yang dimaksud keluarga di sini adalah, yaitu terdiri dari Ayah, Ibu dan anak, ini yang disebut dengan’’pure family system (keluarga pokok). Bukanya keluarga besar yang terdiri dari Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dan anak cucu (Extended Family Syistem).[1] Sebab, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang keluarganya terdiri dari ayah ibu, anak, kakek, nenek serta kerabat lainya dalam satu rumah besar.
Keluarga adalah komunitas terkecil dalam kehidupan masyarakat dan Negara yang menghuni sebuah rumah. Oleh karena itu kesejahteraan masyarakat atau Negara ditentukan pula oleh kesejahteraan keluarga kecil tersebut. Al-Qur’an dan al-Hadist bertutur banyak seputar keluarga, pernikahan, serta tujuanya dengan gamblang, ini merupakan bukti bahwa keluarga itu sangatlah penting.
Adapun tujuan membentuk keluarga ialah (1) memenuhi kebutuhan seksual instingnya sebagai manusia sesuai dengan fitrahnya (2) mencapai ketentraman batin bersama pasangan hidupnya, rukun, damai, penuh dengan cinta dan kasih sayang, dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan ’’Mawaddah wa Rahmah’’(3) Melangsungkan keturunan yang sah, yang akan melanjutkan cita-cita kedua orangtua, serta mendo’kan kedua orangtua.(4) menjaga Nasab (keturunan), Nabi Zakariya a.s pernah berdo’a ‘’ Ya Allah, janganlah engkau membiarkan diriku tanpa keturunan’’.
Proses pemebentukan keluarga di dalam islam sangat terhormat dan mulia, sebagaimana telah diatur dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi s.a.w. Inilah yang membedakan manusia dengan binatanag. Antara laki-laki dan wanita diikat dengan ikatan kalimah Allah Swt, yang kemudian menjadi halal untuk saling memiliki.
Untuk mencapai tujuan (ghoyah) sebuah keluraga diatas, penulis akan menyinggung langkah-langkah awal, yaitu masa sebelum menikah. Sebab, dasar yang paling utama di dalam membangun keluarga sejahrera lahir dan batin, dibawah naugan al-Qur’an adalah dengan memilih pasangan hidup (istri). Jika salah di dalam menentukan pilihan pasangan, dampaknya kurang bagus di dalam mengarungi bahhtera rumah tangga yang penuh dengan liku-liku.
Nabi Ibrahim a.s pernah mengunjungi putranya, Ismail a.s ketika beliau berkunjung ke Kota Makkah. Nabi Ibrahim bertamu kerumah putranya, akan tetapi Ismail a.s sedang keluar rumah, sehingga istrinya yang menyambut, dan mempersilahkan duduk dan memberikan segelas minuman.
Ibrahim a.s dan menantunya terlibat dalam sebuah dialog kecil nan sederhana. Keduanya bercerita panjang lebar seputar keadaan keluarga. Tidak terasa, obrolan itu menyinggung keadaan suaminya Ismail a.s. Betapa terperanjat, ternyata sang menantu menceritakan kekurangan-kekurangan yang dimiliki Ismail a.s., hingga masalah ekonomi (maisah)pun di ceritakan panjang lebar. Nabi Ibrahim a.s menangkap bahwa sang menantu benar-benar tidak bisa menjadi pasangan putranya di dalam membagun bahtera rumah tangga.
Ketika Ibrahim bertemu dengan putranya Ismail a.s., beliau bercerita sepuatar keadaan istrinya yang menyambut dirinya, tetapi bercerita tengtang keluhan atas kesulitan ekonomi serta kekurangan suami. Tetapi, Ibrahim a.s menyimak cerita itu dengan baik. Akhirnya, Ibrahim a.s. mengatakan” Anakku, aku memohon agar supaya pintu rumahmu diganti, karena itu tidak pantas untukmu’’. Nabi Ismail hanya menjawab dengan kata’’ Iya’’, sendiko dawuh romo.
Di bawah ini beberapa langkah di dalam membangun generasi terbaik dikemudian hari. Sang Ayah adalah orang yang paling berperang di dalam membentuk keluarga yang ideal, sesuai dengan tuntunan agama. Penulis memuali dari pemilihan pasangan (suami atau istri). Alasanya, sangat sederhana, karena keluarga itu terdiri  dari suami istri, yang menempati rumah. Di situlah pasangan membangun komunitas terkecil, hingga berkemang biak, menjadi keluarga besar. Jika, salah di dalam memilih, dan keliru membangun keluarga, maka ini akan berlanjut dikemudian hari. Dan, keluarga yang akan berjalan akan mengalami disfungsi keluarga.
Sumber: mading di sekolah dulu. Karya seseorangyang kreatif.
 Allahua'lam 

0 comments :

Post a Comment