My Life

Libatkan Allah dalam setiap urusan

Wednesday, December 30, 2015

Turunnya Wahyu Pertama


Setelah genap berusia 40 tahun, Nabi SAW diutus sebagai Rasul oleh Allah SWT untuk menyebarkan Islam kepada seluruh dunia. Sebelum menerima wahyu, terlebih dulu beliau mengalami mimpi-mimpi yang indah. Kemudian beliau melakukan ’uzlah (menyendiri) di gua Hira untuk beribadah (tahannuts) siang-malam.

         Pada suatu saat, Nabi SAW didatangi oleh Jibril AS yang membawa wahyu pertama berupa Surat Al-’Alaq Ayat 1-5. Setelah itu beliau pulang ke rumahnya dalam keadaan gemetar, lalu beliau menyampaikan kejadian itu kepada sang istri, Khadijah RA. Kemudian Khadijah RA berujar; ”Engkau tidak perlu susah, Allah SWT tidak akan berbuat jelek kepada orang yang ahli merajut tali silaturrahim, suka menolong, suka menghormati tamu. Engkau sama sekali tidak akan mengalami hal-hal buruk, syaitan tidak akan menggota engkau. Sesungguhnya Engkau memang sudah dipilih oleh Allah agar berdakwah kepada kaum Anda”. Untaian kata ini membuat hati Nabi SAW menjadi tentram.

         Khadijah RA mengajak Nabi SAW kepada putra pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang ahli menulis kitab dengan bahasa Ibrani. Setelah diberi-tahu panjang lebar, Waraqah berkata: ”Wahai Muhammad, Yang datang kepada Engkau (yaitu Jibril) itu sama dengan makhluk yang mendatangi nabi Musa AS dan para Nabi yang lain”. Keterangan ini semakin membuat hati beliau menjadi tentram.

 

Wahyu turun terlambat

         Setelah Nabi Muhammad SAW memperoleh wahyu pertama, beliau tidak lagi menerima wahyu dalam kurun waktu 40 hari. Pada suatu hari, Rasululullah SAW mendengar suara dari langit. Ketika melihat ke atas, tiba-tiba ada malaikat sudah ada di gua Hira. Seketika itu beliau lari ke rumah beliau dan meminta Khadijah RA untuk menyelimuti beliau. Sesaat kemudian, turunlah Jibril AS dengan membawa wahyu berupa Surat Al-Muddatsir 1-7.
Allahu a'lam

Tuesday, December 29, 2015

Anjuran untuk adzan (ألـتــرغــيـب فـي الأذان)

قــال الله تـعــالى : (( ومـن أحـسـن قــولا مـمـن دعــا إلـى الله وعــمـل صـالـحــا، وقــال إنـنـي مـن الـمـسـلـمـيــن )) .

         Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Siapakah yang lebih baik perkataannya dibanding orang yang menyeru kepada Allah (SWT), dan mengerjakan amal shalih, dan berkata (berikrar) : ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (kaum muslimin) . [1]

 

وعــن إبـن عــمـر رضي الله عــنهـمـا قـال : قــال رسـول الله صــلـى الله عـلـيــه وســلــم : (( يـغـفــرلـلـمــؤذن مـنـتـهـى أذانــه، ويـسـتـغـفــرلــه كــل رطــب ويـابـس سـمـعــه )) . رواه أحـمــد بـإسـنـاد صـحـيـح، والـطـبــراني فـي ( الـكـبـيـر ) .

         Ibnu Umar Ra. berkata ; Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang adzan akan diampuni dosanya sampai dia adzannya selesai, dan setiap benda padat maupun benda cair akan memintakan ampunan baginya setelah ‘mereka’ mendengar adzan (yang dia kumandangkan)”. (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih, dan HR. Ath-Thabarani dalam kitab Al-Kabir . [2]



[1]           Anjuran untuk adzan
         Lafadz ومـن أحـسـن قــولا berarti ; Tidak ada ucapan seseorang yang lebih baik dari pada seruan kepada agama Allah dengan ketauhidan. Lafadz وعــمـل صـالـحــا berarti ; amal shalih yang diridhai oleh Allah SWT.
 
[2]           Lafadz يـغـفــرلـلـمــؤذن  berarti ; seorang muadzin akan diampuni dosanya, selagi dia adzan. Maksudnya – dan Allah SWT yang lebih mengetahui maksudnya – ; sesungguhnya seorang muadzin memperoleh keberuntungan berupa ampunan dari Allah Azza wa Jalla, ketika dia mengerahkan kemampuannya untuk mengeraskan suara, dan ampunan Allah SWT akan mencapai batas paling maksimal sesuai dengan batas maksimal suara muadzin (semakin keras suara adzan, maka ampunan yang dia terima juga lebih banyak). Menurut pendapat lain, yang dimaksud Hadits ini adalah ; Apabila antara muadzin dan suatu tempat – yang masih bisa mendengar suara adzan dari muadzin tersebut – dipenuhi oleh dosa-dosa, maka dosa-dosa itu akan diampuni oleh-Nya, dan Hadits ini memberi perumpamaan saja. Dan pendapat pertama lebih mendekati pada kebenaran. Lafadz ويـسـتـغـفــرلــه كــل رطــب  berarti ; sesuatu yang lunak dan tidak keras sama sekali (zat cair). Sedangkan lafadz ويـابـس  berarti ; benda padat atau keras (الجـامـد) . Dan permintaan ampunan (oleh zat cair dan zat padat) dalam Hadits ini adalah istighfar dalam arti yang sebenarnya (haqiqi), meskipun kita tidak bisa mengetahui hakikatnya. Pengertian ini didasarkan pada makna lahir dari Hadits ini.
 
Allahu a'lam

Monday, December 28, 2015

Fathul Majid: Wahdaniyah (Mahaesa) < تـعـدد x وحـدنيـة >



kitab fahul majid
 
Definisi sifat Wahdaniyah adalah sesungguhnya Allah SWT adalah Mahaesa dalam hal Dzat, Sifat, maupun perbuatan-Nya.

         Yang dimaksud dengan Mahaesa dalam Dzat (كون الله واحدا في الذات) adalah tidak ada satu dzat-pun yang menyerupai Dzat milik Allah SWT, dan Dzat-Nya tidaklah tersusun dari bagian-bagian, karena dzat yang tersusun-susun merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh makhluq, sedangkan Allah SWT mustahil mempunyai sifat sebagaimana sifatnya para makhluq.

          Yang dimaksud dengan Mahaesa dalam sifat (كون الله واحدا في الصفات) adalah tidak ada sesuatupun yang mempunyai sifat yang sama dengan sifat Allah SWT. Jadi tidak mungkin ada yang mempunyai sifat Qudrat sebagaimana sifat Qudrat milik Allah SWT, begitu juga tidak ada yang mempunyai sifat Irodah, Ilmu dan sifa-sifat lain yang serupa dengan milik Allah SWT.

         Allah SWT tidak mungkin mempunyai dua sifat yang sama persis dalam segi nama sekaligus makna, misalnya; dua sifat Qudrat, dua sifat Irodah, dua sifat Ilmu, dan lain-lain. Akan tetapi Allah SWT hanya mempunyai satu sifat Qudrat, satu sifat Irodah, satu sifat Ilmu, dan lain-lain.

         Yang dimaksud dengan pernyataan Mahaesa dalam perbuatan (كون الله واحدا في الأفعال) adalah tidak ada satu pun yang bisa melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatan Allah SWT, baik berupa perbuatan Ikhtiyariyah (boleh memilih) maupun Idthiraruriyah (bersifat memaksa).

         Dengan perbuatan Ikhtiyariyah yang bersifat kasb semata ini, Allah SWT memberi pahala kepada kita melalui anugerah-Nya, dan menyiksa kita karena keadilan-Nya. Seluruh perbuatan pada hakikatnya berasal dari Allah SWT, misalnya; mu’jizat yang dimiliki oleh para Rasul AS dan karamah yang hanya dimiliki oleh para wali, semua itu merupakan makhluq yang dimiliki oleh Allah SWT.

         Apabila Allah SWT sudah pasti mempunyai sifat Wahdaniyah, maka Dia tidak mungkin mempunyai 5 macam Kamm yang sudah masyhur di tengah-tengah kita. Kelima kamm tersebut antara lain;

& Kamm Munfasil fii Dzat. Yaitu adanya dzat yang menyerupai Dzat Allah SWT

 
& Kamm Muttashil fii Dzat. Yaitu Dzat Allah SWT tersusun dari bagian-bagian (juz-juz) sebagaimana dzat manusia yang tersusun dari daging, tulang, darah, dll.

 
& Kamm Munfashil fii Sifat. Yaitu adanya sesuatu yang mempunyai sifat yang serupa dengan sifat Allah SWT.

 
& Kamm Muttashil fii Sifat. Yaitu Allah SWt tidak mungkin mempunyai dua sifat yang sama nama dan maknanya, misalnya; dua sifat Qudrat, dua sifat Irodah, dll.

Jadi sifat Qudrat maupun Irodah Allah SWt jumlahnya tidak terbilang (tidak banyak), sehingga sifat Qudrat yang digunakan oleh Allah SWT untuk menciptakan perkara yang kecil sama dengan sifat Qudrat yang Dia gunakan untuk menciptakan perkara yang besar. Begitu juga sifat Irodah maupun sifat Ilmu Allah SWT yang digunakan untuk menciptakan perkara yang sedikit sama dengan sifat irodah yang digunakan untuk menciptakan perkara yang banyak.

 
& Kamm Munfasil fii Af’al. Yaitu tidak ada satu makhluq pun yang mempunyai perbuatan yang sama dengan perbuatan Allah SWT. Semua perbuatan pada hakikatnya adalah makhluq Allah SWT, dan Allah SWT yang menciptakan semua perbuatan itu. Firman Allah SWT : والله خالق كل شيئ خلقكم وما تعملون

         Sebagian ulama’ menyatakan bahwa tidak ada Kamm Muttashil di dalam perbuatan Allah SWT, akan tetapi menurut sebagian yang lain, terdapat Kamm Muttashil di dalam perbuatan Allah SWT. Sedangkan makna dari Kamm Muttashil fii Af’al adalah Allah SWT mempunyai sekutu yang menolong-Nya untuk melakukan suatu perbuatan.

         Sesungguhnya Kamm itu bermakna bilangan (‘Adad), sedangkan yang dinafikan dari Allah SWT atau yang mustahil dimiliki oleh Allah SWT adalah sesuatu yang disebabkan oleh keberadaan Kamm. Jadi, yang dimaksud dengan ketiadaan Kamm Munfashil fii Dzat adalah ketiadaan sekutu bagi Allah SWT, karena ‘sekutu’ itu disebabkan oleh keberadaan Kamm, dst.

         Dalil sifat Wahdaniyah adalah keberadaan dan tersusunnya alam semesta. Seandainya Allah SWT mempunyai sekutu dalam ketuhanan-Nya, maka akan menimbulkan kerusakan sebagaimana firman Allah SWT لوكان فيهما ألهة إلا الله لفسدتا  (Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak). Yang dimaksud dengan rusaknya langit dan bumi adalah keduanya tidak mungkin terwujud sebagaimana keadaan dan bentuk yang ada sekarang ini. Kenyataannya langit dan bumi tidaklah rusak, sehingga Allah SWT tidak mungkin mempunyai sekutu dalam penciptaan, sehingga tetaplah sifat Wahdaniyah bagi Allah SWT. Dan jika Allah SWT mempunyai sifat Wahdaniyah, maka mustahil Dia mempunyai sifa Ta’addud (berbilang) yang merupakan kebalikan dari sifat Wahdaniyah.
Allahu a'lam

Sunday, December 27, 2015

Miss You, SDIT Insan Permata

Masih jelas teringat saat saya bersama mereka beberapa tahun yang lalu. Kekaguman dan rasa kebersamaan. Mereka sangat memukau dengan kedisiplinan dan kebisaan mereka mengerti tentang Islam, yang paling membuat saya kagum dengan adab mereka kepada ustadz/ustadzah, mereka sangat menghormati sekali.


Ketika saya berada disana, saya banyak belajar segala hal.
Masih eringa ketika mereka diharuskan untuk mengikuti kegiatan sekolah enang jual beli sesuai dengan Rosulullah, mereka sanga antusias.  
 
 
 
 
 
 

disana ada yang berjualan susu kedelai

ini stannya kelas 2 nabi ibrahim 


 
Ustadz/Usadzah disana juga sangat mengagumkan. Mereka mampu mendidik peserta didik dengan sangat baik bersama keramahan dan kesabarannya hingga saya sangat mengagumi anak-anak di sana. Kangen bertemu ustad/ustadzah disana. :)
 
Jika dilihat dari bangunannya beberapa hari yang lalu, nampak ada yang berbeda, sepertinya telah dibangun bangunan lagi. Semua membuat terkesan yang mengingatkanku. 

SDIT Insan Permata beberapa tahun yang lalu
 
I miss you SDIT Insan Permata. :)

Allahu a'lam

Saturday, December 26, 2015

Adab Membaca Al-Qur'an


Diantara adab membaca Al-quran yang terpenting adalah:

1.    Memperhatikan niat ikhlas disaat mempelajari Al-Qur`an dan ketika membacanya.

Dikarenakan membaca Al-Qur`an adalah ibadah yang dengan ibadah tersebut bertujuan untuk bertemu dengan wajah Allah. Setiap amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa disertai dua syarat diterimanya amal – yaitu ikhlas dan sesuai tuntunan syariat – maka amalan tersebut akan tertolak. An-Nawawi mengatakan: Yang pertama kali diperintahkan bagi seorang Qari’ Al-Qur`an adalah keikhlasan dalam membaca Al-Qur`an, dan hanya menghendaki perjumpaan dengan wajah Allah subhanahu wata’ala dari bacaan Al-Qur`an tersebut, dan tidak menghendaki pencapaian sesuatu selain itu”[1]

2.    Anjuran untuk mengingat Al-quran an memperbarui bacaan Al-quran

Mengingat-ingat Al-Qur`an maksudnya adalah dengan membiasakan diri membaca Al-Qur`an dan selalu berupaya mengingatnya. Adapun memperbaruinya adalah dengan memperbaharui untuk konsisten mempelajarinya dan membacanya[2].

3.    Ketika membaca Al-quran, mulut hendakya bersih. Tidak berisi makanan, sebaiknya sebelum membaca Al-quranmulut dan gigi dibersihkan terlebih dahulu.

Sebaiknya seorang qari’ (pembaca) jika akan membaca Al-quran membersihkan giginya terlebih dahulu baik dengan cara bersiwak (memakai kayu arok) atau cara lain, misalnya menyikat gigi. Yang terbaik adalah dengan menggunakan kayu arok (biasanya dibawa jamaah haji dari Makkah)

4.    Khusyu membaca dan merenungi maknanya dengan penghayatan

Penghayatan akan Kitabullah merupakan kunci pembuka bagi setiap ilmu dan pengetahuan, dan akan menghasilkan setiap kebaikan dan setiap ilmu akan dapat disadur dari Kitab- Nya. Dan dengan penghayatan ini akan menambah keamanan didalam hati, dan akan mengokohkan pohon keamanan tersebut.

5.    Suci dari hadas besar dan kecil.

Disunnahkan membaca Al-quran sesudah wudhu, dalam keadaan bersih, sebab yang dibaca adalah wahyu Allah. Jika ada yang membaca Al-quran  dalam keadaan berhadas (kecil) maka menurut ijma (kesepakatan umat Islam) itu di perbolehkan. Hadis- hadis yang menerangkan hal itu banyak sekali. Imam Al-Haramayn berkata: Jika ada yang membaca Al-quran yang hadas kecil maka ia tidak dikatakan orang yang melaukan perbuatan makruh. Ia hanya meninggalkan keutamaan. Jika ia tidak menemukan air, ia boleh bertayamum[3].

Dan hal ini sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika beliau menginap dibibi beliau Maimunah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkta, “Hingga ketika sampai pada pertengahan malam kurang atau lebih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga lalu beliau duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan beliau, kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, lantas  beliau bangun dan menuju ketempat air yang tergantung lalu berwudhu` darinya dan membaguskan wudhu`nya”[4]

Sementara itu orang yang sedang junub atau haid daharamkan membaca  Al-quran, sedikit ataupu banyak. Yang di perbolehkan baginya adalah meresapi bacaan Al-quran tanpa melafalkan dengan lidahnya. Boleh juga bagi yang junub dan haid untuk melihat mushaf  dan membacanya dengan hati tanpa gerak lidah[5].

6.    Mengambil Al-quran hendaknya dengan tangan kanan.dan sebaiknya memegangnya dengan kedua tangan.

7.    Menjaga mata dan mulut

Masalah penting yang harus diperhatikan oleh pengemban Al-quran adalah menghormatinya, dengan menjauhi perbuatan perbuatan yang kurang baik yang kepar tak diperhatikan oleh qari’. Mereka semestinya menjauhi tertawa yang berlebihan, mengobrol tak karuan mengenai hal hal yang tidak penting dan lain-lain yang bisa mengirangi penghormatan terhadap Al-quran.

Pengemban Al-quran hendaklah mengamalkan nasehat Ibn Abi Dawud dari Abdullah bin Umar bin Khattab r.a. bahwa, “Ia jika membaca Al-quran tidak berbicara kecuali setelah selesai sampai batas bacaan yang dinginkannya”. Ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya.[6]

8.    Disunnahkan membaca Al-quran di tempat yang bersih.

Misalnya di rumah, surau, mushollah, dan di tempat-tempat lain yang dianggap bersih. Tapi yang paling utama di masjid.

Adapun para ulama berbeda pendapat mengenai kemakruhan. Menurut beberapa sahat, tidak makruh membaca Al-quran di kamar mandi. Pendapat itu berasal dari dari ulama yang agung seperti  Abu Bakar bin Al-Mundzir dalam kitab Al-Asyraf. Namun beberapa para ulama salaf memakruhkannya misalnya Amir Al Mukminin Ali bin Abu Tholib ra. Al-Sya’bi berkata, “Adalah makruh membaca Al-quran di tiga tempat: kamar mandi, tempat buang air besar atau kecil, dan tempat penggilingan yang sedang berputar”[7].

9.    Menghadap kiblat

Di sunnahkan membaca Al-quran dengan menghadap kiblat. Pembaca Al-quran juga di harapkan duduk dengan tenang, penuh kharisma seraya menundukkan kepala. Duduknya seperti seorang murid di depan gurunya. Inilah sikap yang paling sempurna dan mulia. Tetapi, kalaupun yang membaca Al-quran sambil berdiri, berbaring atau tiduran, itupun diperbolehkan dan berpahala, meski tidak seperti yang duduk sempurna.


[1] Al-Adzkaar hal. 160 Daar Al-Huda, cet. Ketiga 1410 H
[2] Lihat didalam Fathul Baari ( 8 / 697 – 699 ) , cet. Daar Ar-Rayyan lit-Turats
[3] Imam Nawawi.Adab Mengajarkan Al-Qur’an. 2001. Jakarta:Hikmah, hal.72
[4] HR. Al-Bukhari (183) dan Muslim (673)
[5] Imam Nawawi.Adab Mengajarkan Al-Qur’an. 2001. Jakarta:Hikmah,hal.73
[6] Imam Nawawi,Menjaga Kemuliaan Al-Quran. 1996. Bandung: Al-Bayan, hal 95
[7] Ibid, hal. 76
 
Allahu a'lam

Shighat (ضوء المصباح)

Semoga bermanfaat...

Rukun pertama ini terpenuhi semisal Wali berkata:

زَوَّجْتُكَ فُلاَنَةَ  أَوْ  أَنْكَحْتُكَهَا

Saya mengawinkan atau menikahkan kamu dengan Fulanah

Sedangkan suami menjawab:

تًزَوَّجْتُهَا : (اَوْ) نَكَحْتُهَا : (أَوْ) قَبِلْتُ نِكَاحَهَا (أَوْ) تَزْوِيْجَهَا (أَوْ) النِّكَاحَ (أَوْ) التَّزْوِيْجَ : (أَوْ) رَضِيْتُ نِكَاحَهَا (أَوْ) هَذَا النِّكَاحَ

Saya bersedia mengawininya; saya bersedia menikahinya; saya menerima menikahinya; saya menerima mengawininya; saya menerima pernikahan ini; saya menerima perkawinan ini; saya rela menikahinya; saya rela dengan pernikahan ini

Imam Syafi'i RA berkata dalam Kitab Al-Umm: Tidak ada pernikahan (yang sah) untuk selamanya, kecuali jika si Wali berkata:

قَدْ زَوًَّجْتُكَهَا أو أَنْكَحْتُكَهَا

Sungguh saya  mengawinkanmu dengannya; sungguh saya telah menikahkanmu dengannya

Sedangkan si (calon) suami menjawab:

قَدْ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا (أَوْ) قَبِلْتُ تَزْوِيْجَهَا

saya menerima menikahinya; saya menerima mengawininya;

 Atau orang yang melamar berkata:

َزَوِّجْنِيْهَا (أو) أَنْكِحْنِيْهَا

Kawinkanlah saya dengannya; nikahkanlah saya dengannya

Sedangkan si Wali menjawab:

قَدْ زَوَّجْتُكَهَا (أَوْ) أَنْكَحْتُكَهَا

Sungguh saya mengawinkanmu dengannya; sungguh saya telah menikahkanmu dengannya

Selanjutnya pelamar dan wali menyebutkan nama wanita yang bersangkutan disertai dengan nama ayahnya.

Jika (calon) suami berkata:

تَزَوَّجْتُ إِبْنَتَكَ (أو) نَكَحْتُهَا (أو) قَبِلْتُ نِكَاحَهَا

Saya bersedia mengawini puterimu; saya bersedia menikahinya; saya menerima menikahinya

Sedangkan Wali menjawab:

زَوَّجْتُكَهَا (أَوْ) أَنْكَحْتُكَهَا

Saya mengawinkanmu dengannya; Saya telah menikahkanmu dengannya

Maka pernikahannya dinilai sah, karena Qabul (penerimaan) merupakan salah satu bagian dari akad, maka tidak ada perbedaan antara didahulukan atau diakhirkan.

       Di dalam Syarah Ihya' Ulumuddin disebutkan: Tidak disyaratkan ada kesamaan lafadz di antara dua pihak. Misalnya salah satu pihak berkata:

زَوَّجْتُكَهَا

Saya mengawinkanmu dengannya

Sedangkan pihak yang lain menjawab:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا

Saya menerima menikahinya

Maka pernikahannya tetap dinilai sah. Ini adalah madzhab Imam Syafi'i RA.

       Pernikahan juga sah dengan lafadz yang semakna dengan perkawinan dan pernikahan dari berbagai ragam bahasa, meskipun orang yang mengucapkannya sebenarnya fasih melafalkan bahasa Arab. Ini adalah menurut pendapat yang Ashah, karena mengacu pada (kesamaan) maknanya. Namun dengan syarat, masing-masing dari dua orang yang melakukan akad nikah sama-sama memahami perkataan pihak yang lain; dan kedua saksi juga memahami apa yang diucapkan oleh kedua orang yang akad.

       Tidak sah Ijab dan Qabul dilakukan dengan tulisan maupun isyarat yang dapat dipahami, kecuali bagi orang yang bisu. Maka kedua cara itu (tulisan atau isyarat) dinilai sah sebagaimana ketika dia berjual-beli atau menceraikan istrinya.

        Disyaratkan adanya kesinambungan antara Qabul dengan Ijab. Jika ada pembicaraan lain yang menyela di antara Ijab dan Qabul, maka hal itu bisa membatalkan akad. Disyaratkan juga, Ijab keluar dari Wali (pihak calon istri), sedangkan Qabul diucapkan oleh (calon) suami, sekira masing-masing pihak saling mendengar shighat yang diucapkan; serta ikut didengar oleh kedua saksi; jika tidak demikian, maka Ijab-Qabulnya dinilai tidak sah. Disyaratkan, orang yang melakukan akad Ijab-Qabul harus senantiasa memenuhi syarat sampai selesainya akad Ijab-Qabul. Jika seorang Wali (pihak calon istri) mengucapkan Ijab, kemudian dia gila atau pingsan atau hak kewaliannya hilang sebelum (calon) suami mengucapkan Qabul, maka akad pernikahannya batal; demikian juga jika si Wali tadi mendadak meninggal dunia. Jika (calon) istri yang mempunyai hak idzin mencabut idzinnya; atau dia gila; atau murtad; atau pingsan sebelum ada Qabul dari pihak (calon) suami, maka Qabul tidak sah diucapkan oleh (calon) suami.

       Tata cara shighat di dalam pernikahan yang melibatkan perwakilan adalah: Wakil dari Wali (calon istri) ber-Ijab kepada (calon) suami:

زَوَّجْتُكَ فُلاَنَةَ بِنْتَ فُلاَنْ، مُوَكِّلِيْ

Saya mengawinkanmu dengan Fulanah binti Fulan, yakni orang yang mewakilkan kepadaku

Ijab seperti ini diucapkan jika para saksi nikah maupun (calon) suami tidak mengetahui perihal perwakilan sebelumnya. Jika tidak demikian, maka tidak perlu menambah kata مُوَكِّلِيْ. Lalu (calon) suami mengucapkan Qabul. Atau Wali ber-Ijab kepada Wakil pihak suami:

زَوَّجْتُ بِنْتِيْ فُلاَنًا، مُوَكِّلَكَ

Saya mengawinkan puteriku dengan Fulan, yakni orang yang mewakilkan kepadamu

Ijab seperti ini diucapkan jika para saksi nikah tidak mengetahui perihal perwakilan sebelumnya. Jika tidak demikian, maka tidak perlu menambah kata مُوَكِّلَكَ. Jika Wali ber-Ijab kepada Wakil dari pihak suami:

زَوَّجْتُكَ بِنْتِيْ

Saya mengawinkanmu dengan puteriku

Kemudian si Wakil mengucapkan Qabul dengan:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِمُوَكِّلِيِ

Saya menerima menikahinya untuk orang yang mewakilkan kepadaku

Maka dalam hal ini, akad pernikahannya dinilai tidak sah, karena tidak ada kecocokan di dalamnya. Namun, jika si Wakil hanya mengucapkan Qabul dengan:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا

Saya menerima menikahinya

Maka akad pernikahannya dinilai sah. Dan disyaratkan dalam pernikahan yang melibatkan perwakilan dalam Qabul, yaitu Wali atau Wakilnya ber-Ijab kepada Wakil (calon) suami:

زَوَّجْتُ فُلاَنَةَ بِنْتَ فُلاَنْ فُلاَنًا

Saya mengawinkan Fulanah binti Fulan dengan Fulan

Dan si Wali atau Wakilnya, menyebutkan ciri khusus yang menunjukkan pada (calon) suami yang dimaksud. Si Wali atau Wakil-nya juga boleh ber-Ijab:

زَوَّجْتُ فُلاَنَةَ بِنْتَ فُلاَنْ، لِفُلاَنٍ بِنْ فُلاَنْ

Saya mengawinkan Fulanah binti Fulan dengan Fulan bin Fulan

Atau dengan Ijab berupa:

زَوَّجْتُ مُوَكَّلَكَ، فُلاَنْ، فُلاَنَةَ بِنْتَ فُلاَنْ

Saya mengawinkan orang yang mewakilkan kepadamu, yakni Fulan dengan Fulanah binti Fulan

Tidak diperkenankan hanya ber-Ijab dengan:

زَوَّجْتُكَهَا

Saya mengawinkanmu dengannya

Disyaratkan bagi Wakil dari (calon) suami untuk mengucapkan Qabul dengan:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِمُوَكِّلِيْ، فُلاَنٍ

Saya menerima menikahinya untuk orang yang mewakilkan kepadaku, yakni si Fulan

Atau dengan Qabul berupa:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِفُلاَنٍ بِنْ فُلاَنْ

Saya menerima menikahinya untuk Fulan bin Fulan

Jika tidak mengucapkan Qabul seperti itu, maka akad pernikahannya tidak sah.
 
Allahu a'lam