My Life

Libatkan Allah dalam setiap urusan

Friday, December 20, 2019

Tentang PPG: Semuanya Tak Mudah (Bag.1)


Ingin semuanya biasa-biasa saja, berada di pertengahan, tak ingin naik ke atas. Karena di sini dalam prosesnya, angin begitu lebat sekali menggoyahkan ku. Sekuat tenaga lagi dan lagi terus saja ingin menumbangkan ku,dan pada akhirnya hari ini, detik ini muncul pemikiran, aku ingin menyerah. Benar- benar ingin menyerah, menyerah begitu saja.(TT):'(

Semua memanglah tak mudah.Menjalani semua kelelahan- kelelahan yang membuat badan, pikiran, bahkan hati merasa lelah lagi, lagi dan lagi. seterusnya seperti itu. Ada beban di sini yang begitu memberatkan ku dan beban ini tak mungkin ku bagi dengan orang-orang di sekitarku yang mungkin saja bisa meringankan, tapi entahlah aku tak mau.
Hari itu, aku masih ingat sekali aku pergi ke apotek dengan penuh perjuangan, saat itu sore pulang dari mengajar sekolah fullday, meskipun sore hari, namun matahari tetap menampakkan sinarnya hingga membuat keringatku terus saja bermunculan tanpa bisa kucegah. Aku sangat lelah sekali.Lalu, setelahnya aku masih harus naik angkot dua kali untuk bisa ke kampus. Saat itu, ada jadwal kuliahku, kuliah PPG. Kuliah yang sebenarnya tak kusangka-sangka bisa kulakukan tanpa biaya sepeserpun. Ya, itu program dari Kementrian Agama untuk meningkatkan kualitas guru Indonesia, aku sebenarnya sangat beruntung dan sangat bersyukur sekali dapat terjaring mengikuti program ini. 

Tapi saat itu adalah saat puncak ku lelah sekali mengikuti program ini. Aku mulai sering merasakan pusing, bahkan sampai muntah-muntah. Tubuhku terasa tak kuat lagi, rasanya rasa lemas selalu menghantuiku. Bahkan aku sempat menangis saat itu, meski itu di jalan. Namun, aku berusaha menghalau tangisanku agar tidak diketahui oleh orang disekitarku saat aku naik angkot. Aku mulai khawatir dengan diriku. Aku takut terjadi apa-apa denganku. 

Dari awal, kuliah daring, lewat online. Disela-sela jam kosong yang biasanya kugunakan untuk mengoreksi atau sekedar membuat latihan soal, tapi saat itu,  aku selalu memanfaatkan waktu itu untuk membaca modul online yang telah disiapkan dosen. Tak jarang aku sengaja mencetak modul itu agar bisa kubaca dan kutandai apa-apa yang penting dalam modul itu. Siang saat jam istirahat yang biasanya aku duduk santai atau sengaja membaringkan badan sejenak setelah dari pagi sampai siang mengajar, tapi sejak aku kuliah online, aku berusaha memanfaatkan waktuku untuk berdiskusi online dengan dosen atau teman-teman lalu sorenya saat pulang sekolah, aku mengerjakan tugas dari dosen entah membuat makalah, essay, atau menjawab beberapa pertanyaan dari dosen dan semuanya itu menuntut untuk mencari referensi, maka tak jarang pula aku banyak sekali mendownload jurnal-jurnal, artikel, bahkan buku online sekalipun. Kalau dipikir-pikir aku sangat lelah, sepertinya tak ada waktu untukku beristirahat. Bahkan malam setelah sholat Maghrib aku mengerjakan lanjutan tugas jika sore harinya tugasku belum selesai. Dan melanjutkan untuk mengerjakan tes harian/ tes formatif yang nantinya akan langsung ada nilainya. Semua itu, aku lakukan selama 3 bulan. Sungguh aku sangat lelah. Jika aku tak membaca modul, tak melakukan diskusi, tak mengerjakan tugas dari dosen, atau tak mengerjakan tes formatif tiap harinya aku tak tau berapa nilai ku, karena semuanya ada poin nilainya. Aku hanya takut mengecewakan suami dan orangtuaku yang mendukungku mengikuti program kuliah PPG ini jika aku tak serius mengikuti program ini. Hanya itu yang kutakutkan.

Setelah program tiga bulan daring, aku harus mengikuti perkuliahan di kampus , dari sore hari pulang sekolah sampai tengah malam pukul 11 malam. Mungkin semuanya heran, masak ada kuliah sampai jam 11 malam? Tapi ini, benar terjadi. Aku kuliah sampai jam 11 malam.

Paginya, rasanya pikiranku kacau. serasa ada migran, sakit kepala lagi yang begitu menyiksa, hingga aku tak bisa melakukan apapun. Bahkan hari ini hujan dan pakaian masih utuh terjemur di luar, aku tak bisa meraihnya untuk kutaruh dalam lemari. aku lemah. aku begitu pusing, aku hanya sendiri berbaring di tempat ini. Aku tau aku tak boleh seperti ini, namun ketika aku mencoba bangun dari tempat tidur , kepalaku mulai memberontak seakan memukuli dirinya sendiri, perutku mulai mengetuk lambungku dengan kuat agar isi lambung keluar, aku tak bisa mengendalikan kepala dan lambungku, itu diluar kuasaku.

Aku selalu minta pada hati untuk lebih tenang, stay cool. Namun, sepertinya hati merasa bingung harus bagaimana. 

Ada satu alasan yang membuatku tak boleh tumbang begitu saja. Alasan itu begitu kuat sekali. Aku benar-benar benar tak boleh menyerah.Tak boleh.

Wallahu a'lam...

Saturday, August 31, 2019

Mas, Sayang: Semuanya Butuh Waktu



Tak semudah berucap begitu saja tentang apa yang diinginkan lalu apa yang dipikirkan tentang kita?. Aku tau semuanya tak mudah, semua memang butuh waktu. Iya, waktu. Waktu.

Kadang berpikir lebih baik tak mengatakan apapun, lalu apa yang diinginkan langsung tersampaikan. Tapi, mungkinkah?
Cukup tau saja, itu tak mungkin.

Dari pagi hingga pagi sejak itu,terus menerus pertanyaan bermunculan, bisakah aku memanggilnya dengan panggilan yang benar-benar diinginkan? 
Namun, aku banyak kehilangan jawaban yang begitu diinginkan.
Nyatanya, hanya kata ustadz dan Bu yang ada dalam panggilan kita.

Aku bingung. Kadang kesungkanan itu begitu saja datang. Karena kesungkanan itu, kadang-kadang kejam. Sekejam pemikiran mawar tentang pemiliknya yang sengaja memetiknya.

Semuanya butuh waktu...
Dari pagi, hingga pagi lagi dan lagi..aku lupa tanggal pastinya, yang kuingat hari itu panas terus menyertai, airpun tak mau merasa dingin, ia begitu hangat karena Matari yang selalu menghangatkannya, aku tak tau, saat itu nyatanya ada yang tumbuh sedikit demi sedikit, aku merasa lebih dan lebih dekat denganmu, kudapati suara itu..
Sayang...
Aku berusaha mencari makna yang pasti , dan kutemui senyuman itu...
Suara itu, senyuman itu benar-benar tersampaikan sempurna.

Mas..
Panggilan itu..cukup menjadi jawaban atas semua jawaban yang diinginkan.
Semua memang butuh waktu, dan saat itulah waktunya..
Terimakasih untuk panggilan itu,
Terimakasih untuk membangunkan ku pagi ini dengan panggilan itu lagi
Terimakasih juga atas apa yang dilakukan setelah panggilan itu..😘💙💙

Wallahu a'lam..

Saturday, March 30, 2019

My Beloved Husband

Hal yang tak bisa diungkapkan dan dibayangkan sebelumnya, ia yang kini bisa saya sebut husband. Lebih tepatnya my husband, my lovely husband.

Tak terhitung kebahagiaan ketika ia melafalkan ijab qobul akad nikah dan dilanjutkan suara "sah" yang berderu. Ia telah menjadi bagian penting dalam hidup.
Ketika untuk pertama kalinya saya menjabat tangan dan mencium tangannya, sepertinya ada hal yang membuat segala sesuatunya terasa begitu indah, ada rasa hormat, sayang, dan kagum yang ingin saya tunjukkban terhadapnya. Dan semoga ia bisa menangkap apa yang ingin saya tunjukkan itu.

Ucapan sah, berjabat tangan dan mencium tangannya, tanda tangan di buku nikah semuanya begitu sangat melegakan, saya miliknya.

Senyumannya saat itu tergambar jelas bahwa ia bahagia. Saya merasa lega dengan senyumannya itu.

Tepat hari akad nikah, tanggal 27 Maret 2019, untuk pertama kalinya,benar2 pertama kali, ia berucap bahwa ia mencintai saya dan akan berusaha untuk mencintai keluarga saya. Saat itu air mata tak bisa terbendung lagi, namun dengan segera saya menghapus air mata itu, sungguh membuat saya begitu lega, ia mencintai saya, saat itu rasa yakin terhadapnya semakin,semakin dan semakin bertambah terhadapnya.

Ucapan itu, ucapan yang sudah saya tunggu-tunggu lama, akhirnya ia ucapkan dengan jelas malam itu.
Saat itu, saya benar-benar menekadkan diri dan berusaha ingin benar-benar menjadi istri yang terbaik untuk suami.

Namun, setelah saya pikir-pikir, memang saya terlalu banyak sekali kekurangan untuk ia yang tak banyak kekurangan. Dalam hal memasak, ia lebih bisa diandalkan dari saya, dalam hal kebersihan rumah, ia lebih bisa dan paham dari saya, dalam hal perhatian, ia jauh lebih perhatian dari saya. Segalanya begitu lebih dan lebih baginya, tapi apalah saya.

Bisakah masak Bali ayam? Nggk
Bisakah buat perkedel? Nggk
Apa yang ia ingin selalu jawaban nggk yg keluar dari mulut saya. Bagaimana bisa, biasanya di rumah beli bumbu jadi tinggaltnambah bawang merah sama beberapa bumbu, bukan membuat dari awal.

Ia lalu tak mengucapkan apa-apa setelah itu, tapi ia menunjukkan wajah yang ingin menenangkan dan mengisyaratkan tidak apa2 tak bisa masak, tak usah dipikirkan.
Nanum, bagaiman tidak memikirkan. Itulah kelebihannya dan kekurangan saya.
(PR 1: belajar masak)

Saya sedang duduk, dan mengecek pesan di hp, soalnya dari malem belum semoat oegang hp, kelihatannya lantainyalbersih, tpi agak kotor sedikit dan ia mengambil kaleng dan pel, ia mencelupkan pel ke dalam kaleng dan memerasnya, saya bertanya mau mengepel? Ia menjawab iya.
Haruskah ia lebih perhatian terhadap kebersihan daripada saya 😔. Ia bahkan tak menyuruh saya untuk mengepel. Dalam benak saya kenapa ia selalu terlihat lebih, dan saya kurang? 😔
Namun, dengan cepat saya berucap saya saja yang mengepel. Ia pun menyodorkan pel, nanum ia tak meninggalkan saya, ia membantu memberikan pewangi lantai.
Sekali lagi, itulah kelebihannya dan kekurangan saya.
(PR 2: perhatian terhadap kebersihan rumah)

Pagi, ia menwarkan makan bersama, tapi saya menolaknya, dan ia paham karena waktu itu perut lagi gak enak, rasanya gak enak mau makan. Namun ia mengambil makan dan bilang makan sedikit saja. Dan ia menyuapi saya.iya, seneng. Dalam batin saya saya menyeletuk, tiap pagi gak enak makan saja, agar bisa disuapi tiap hari 😅.
Ia begitu perhatian terhadap saya. Namun, saya kurang perhatian. Sekali lagi itulah kelebihannya dan kekurangan saya.
(PR 3: lebih perhatian terhadap suami)

Itulah tentang sosok my beloved husband. Semoga saya juga bisa menjadi his beloved wife. Aamiin.

Allahua'lam

Thursday, March 7, 2019

Lagi, lagi, lagi, lalu lagi dan terus lagi


Lagi, lagi, lagi lalu lagi dan lagi serta lagi dan terus terus lagi. Ia seperti itu, sesuatu yang tak seharusnya dilakukan, dilakukannya dengan lagi lagi lagi dan terus lagi. Bagaimana bisa ia hanya membaca chat tanpa dibalas. Bagaimana bisa ia tak memahami. Dan bagaimana ia secuek itu? Bukankah sudah jelas pengirim chat ingin chatnya di balas? Mungkin itulah yang disebut kurang peka.

Sebel, kesel gak mau chat lagi, gak mau balas chatnya kalau ia chat. Gak mau lagi peduli. Terserah ia. Biarlah kalau dibilang seperti anak kecil yang gak di bales chat nya saja ngambek. Biarkan. Biarkan.

Chat jam 12.54, di read jam 13.00 tanpa balesan.
Chat jam 15.10, di read jam 15.15 tanpa balasan.

Begitulah ia.
Seakan akan tak peduli.
Sekaan akan tak peka.
Seakan akan tak perhatian.
Seakan akan marah .
Seakan akan benci .

Mungkin kata 'seakan akan' bukan kata yang pas. Mungkin kata 'memang', kata yang pas.
Sudah. Begitu saja cerita tentang ia.
Agak lega. Terimakasih blogger . 

Saturday, March 2, 2019

'Ngh'


Ngh....kata apa itu? Selalu ia mengirimi kata itu. Hanya 3 huruf tanpa huruf vokal. Tidakkah ada kata yang lebih panjang, yang lebih indah untuk mengirimi selain kata itu? Tidak adakah? sungguh sangat tak suka dgn kata itu, kata yang singkat itu.

Padahal ketika mengirimi 3 huruf itu, diatas chatnya sdah ada kiriman kata yang begitu panjang, dan yang mengetik kata itu berharap bukan hanya 3 huruf saja sebagai balasannya. Ia ingin lebih dari itu. Pengirim kata2 panjang ingin tau seberapa istimawakah ia bagi pengirim kata singkat itu?

Apakah bisa dianggap istimawa jika hanya 3 huruf sja yang dikirim? Bukankah ada banyak kata yang bisa diketik? Tentu tak salah jika pengirim kata2 panjang merasa tak istimewa, bukankah begitu?

Namun, jika tidak istimawa, lalu apa arti si pengirim kata2 panjang bagi si pengirim kata singkat itu? Secuek itukah si pengirim kata singkat? Bisakah berubah?

Kadang, si pengirim kata2 panjang merasa cemburu , ketika si pengirim kata pendek lebih dahulu membalas chat orang lain/chat grup daripada mendahulukan balas chat si pengirim kata2 panjang. Padahal chat si pengirim kata panjang lebih dahulu sampai daripada grup/ornglai  itu. Hal- hal seperti ini, benar2 membuat perasaan merasakan sesuatu yang tak bisa digambarkan. Dan Si pengirim kata Panjang pun mulai mengira, ia tidaklah istimewa, karena ia selalu diakhirkan.

Namun kelak, semoga si pengirim kata singkat itu, bisa lebih penuh perhatian dengan segala kebijaksanaannya kepada si Pengirim Kata2 panjang. Aamiin

Friday, January 4, 2019

Kadang Kecewa Harus Ditutupi dengan Senyum

Karena selalu dan selalu bersikap seperti itu, bersikap tak peduli, bahkan kadar ketidakpedulian itu sudah sangat cukup besar bagi saya.
Sabar, itu suatu keharusan dalam menghadapi seseorang yang seperti itu. Tapi apa daya saya sudah cukup sangat lelah. Lelah sekali.
Diabaikan, pesan chat yang tak terbalas, bahkan tak terbaca, meski saya tahu, ia sedang online. Dan akan terbaca dan terbalas jika yang dibahas masalah pekerjaan. Dan seperti itukah seharusnya sikap yang ditunjukkan kepada seseorang yg penting. Apakah saya hanya orang penting dalam pekerjaan saja?? Mungkin saya bukan orang penting yang mengisi pikirannya. Jangankan pikirannya, apa saya orang yang penting dalam hatinya? Lalu apa arti saya dalam hidupmu?
Sungguh, sya lelah.
Terlalu banyak pertanyaan, yang tak bisa saya tanyakan kepadanya.
Kenapa?
Karena saya takut kecewa lagi.
Dan kali ini, saya merasa kecewa itu.
Tapi, setiap kecewa harus selalu sya tutupi dengan senyuman.
Kenapa?
Tak bolehkah saya menyampaikan kecewa saya?  Pikiran melarangnya.
Be positive be positive be positive
Itu yang selalu saya tanamkan.
Tapi ia tetap saja jadi seseorang yang sangat asing, asing sekali.
Lelah, kecewa, lalu senyumlah...
Alhamdulillah, lega setelah nulis blog, curhat dengan tulisan
Allahua'lam