Teori Pembelajaran Humanistik
Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian
manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana manusia membangun
dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini
yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran
humanismebiasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif
ini. Kemampuan positif erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang
tampak dari para pendidik beraliran humanisme.[1]
Dalam artikel Some Educational Implications of the
Humanistic Psychologist, AbrahamMaslow mencoba untuk mengkritisi teori
Freud dan Behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia
adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau
“sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisis Freudian. Pendekatan ini
melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia
membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang
beraliran humanistik, biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan
kemampuan positif ini.
Berbeda dengan Behaviorisme yang melihat motivasi manusia
sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia atau dengan
freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual,
Humanistik melihat melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi
yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama
pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat, yaitu bahwa yang dilihat
adalah adalah perilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan
antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang. Hierarki kebutuhan
motivasi Maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan bersama
manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri, sekaligus juga
menggambarkan motivasi dalam level yang lebih rendah, seperti kebutuhan
fisiologis dan keamanan.[2]
Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu
dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan
kepada pengalaman-pengalaman mereka. Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Psikologi
humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
Bagi para penganut teori humanistik, proses belajar harus
bermuara pada manusia. Teori belajar ini yang paling mendekati dunia filsafat
daripada dunia pendidikan. Meskipun teori ini sangat menekankan pada isi dari
proses belajar, dalam kenyataannya teori ini lebih banyak bicara tentang
pendidikan dan proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar
seperti apa adanya, seperti yang sering terjadi dalam keseharian. Teori ini
bersifat elektrik dan teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk
memanusiakan manusia (mencapai aktualitasi) dapat tercapai.
Dalam praktiknys, teori ini antara lain dapat terwujud dalam
pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut belajar bermakna atau Meaningful
Learning (Ausubel juga dimasukkan dalam aliran kognitif). Teori ini juga
terwujud dalam teori Bloom, Krathwohl, Kolb, Honey, Mumford, dan Habermas.[3]
0 comments :
Post a Comment